Beranda | Artikel
Mengembangkan Bakat Anak dengan Bijak
1 hari lalu

Mendidik Anak Memanfaatkan Waktu Luang ini merupakan bagian dari kajian Islam ilmiah Fiqih Pendidikan Anak yang disampaikan oleh Ustadz Abdullah Zaen, M.A. Hafidzahullah. Kajian ini disampaikan pada Senin, 3 Jumadil Akhir 1447 H / 24 November 2025 M.

Kajian Tentang Mendidik Anak Memanfaatkan Waktu Luang

Satu hal yang harus disadari adalah bahwa anak merupakan amanah yang sangat berharga yang diberikan oleh Allah ‘Azza wa Jalla kepada orang tua. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah membekali anak-anak dengan fitrah yang suci. Tugas orang tua adalah membentuk anak menjadi pribadi yang saleh dan bermanfaat.

Oleh karena itu, tugas orang tua adalah menemukan bakat, minat, dan kecenderungan anak, kemudian mengembangkannya. Menemukan dan mengembangkan bakat anak bukan hanya bertujuan untuk kesuksesan di dunia. Ada sebagian orang yang beranggapan bahwa mengembangkan bakat hanya terkait urusan dunia, tetapi anggapan itu tidak benar. Mengembangkan bakat anak selain untuk kesuksesan di dunia, juga akan menjadi bekal yang sangat berharga di akhirat.

Terdapat tiga langkah untuk mengembangkan bakat anak dengan bijak.

1. Prioritaskan Pendidikan Fardhu ‘Ain

Langkah pertama adalah memprioritaskan pendidikan fardhu ‘ain. Pendidikan fardhu ‘ain adalah ilmu-ilmu yang wajib diketahui oleh setiap manusia, baik laki-laki maupun perempuan, rakyat ataupun pejabat, tua, muda, besar, atau kecil, karena ‘ain (fardhu ‘ain) berarti wajib bagi setiap individu.

Inilah yang membedakan konsep pengembangan bakat dalam ajaran Islam dengan konsep Barat. Pengembangan bakat tidak hanya dibahas dalam Islam; dunia Barat juga membicarakannya. Perbedaannya adalah dalam agama Islam, sebelum anak diarahkan kepada bakatnya, ia harus memiliki pondasi yang kokoh terlebih dahulu, yaitu ilmu-ilmu fardhu ‘ain.

Jumlah sahabat Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam saat beliau wafat sangat banyak, mencapai lebih dari 100.000 orang. Namun, 100.000 sahabat tersebut tidak semuanya menjadi ulama atau ustadz. Mereka memiliki keahlian yang berbeda-beda.

  • Ada yang menjadi pemimpin seperti Al-Khulafa’ Ar-Rasyidin: Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali.
  • Ada yang menjadi dai atau ustadz, seperti Mush’ab bin Umair dan Mu’adz bin Jabal.
  • Ada yang menjadi saudagar (pedagang), seperti Abdurrahman bin Auf.
  • Ada yang menjadi panglima perang yang hebat, seperti Khalid bin Walid.

Para sahabat yang jumlahnya 100.000 lebih itu tidak semuanya menjadi ulama, mereka memiliki bakat yang berbeda-beda. Namun, yang sama adalah pondasi agama mereka sangat kuat.

Oleh karena itu, apabila anak menjadi dokter, hal itu diperbolehkan, asalkan ia menjadi dokter yang saleh. Jika anak menjadi arsitek, diperbolehkan, asalkan ia menjadi arsitek yang saleh. Demikian pula jika putra-putri menjadi tentara atau polisi, hal itu diperbolehkan, asalkan mereka menjadi tentara dan polisi yang saleh. Begitu juga jika anak menjadi presiden, hal itu diperbolehkan, asalkan ia menjadi presiden yang saleh. Untuk menjadikan mereka saleh, harus dimulai dari pondasi awal, yaitu pendidikan fardhu ‘ain.

Sejak kecil, pendidikan agama harus diprioritaskan. Pendidikan fardhu ‘ain meliputi:

Pertama: Ilmu Aqidah

Ilmu aqidah tidak bisa ditawar, yaitu tauhid yang lurus dan aqidah yang murni. Hal ini harus diajarkan kepada anak sejak kecil. Dahulu, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengajari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma ketika usianya masih 6 atau 7 tahun, beliau bersabda:

“Nak, aku akan mengajarimu beberapa kalimat: Jagalah Allah, niscaya Allah menjagamu. Jagalah Allah, niscaya kamu mendapati-Nya di hadapanmu. Jika kamu meminta sesuatu, mintalah kepada Allah.” (HR. At-Tirmidzi)

Lihat: Jagalah Allah Maka Allah Akan Menjagamu

Hadits ini menunjukkan bahwa anak sejak kecil sudah dididik dengan aqidah, yaitu ketergantungan hanya kepada Allah ‘Azza wa Jalla.

Kedua: Ibadah Harian

Selain aqidah, anak harus diajari ibadah yang dikerjakan setiap hari, seperti wudu dan shalat. Anak diajari wudu yang benar sebelum shalat. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman dalam Al-Qur’an:

وَأْمُرْ أَهْلَكَ بِٱلصَّلَوٰةِ وَٱصْطَبِرْ عَلَيۡهَا

“Dan perintahkanlah keluargamu melaksanakan salat dan bersabarlah dalam mengerjakannya.” (QS. Thaha[20]: 132)

Ayat ini berarti orang tua harus memerintahkan anak-anaknya untuk shalat. Demikian pula suami harus memerintahkan istrinya. Ayat ini juga menyatakan bahwa mengajarkan shalat membutuhkan kesabaran. Tahapan-tahapan mengajarkan shalat kepada anak sudah pernah dibahas sebelumnya.

Pondasi agama harus dibentuk dengan kuat dalam diri anak. Jika anak tidak memiliki pondasi agama, ia dapat diibaratkan seperti kapal tanpa kompas atau navigasi. Kapal tanpa penunjuk arah di tengah lautan akan terombang-ambing, bahkan bisa menabrak karang, bocor, dan tenggelam.

Profesi apa pun akan berbahaya jika tidak memiliki pondasi agama. Contohnya, seorang dokter tanpa pondasi agama hanya akan memikirkan uang dan bagaimana modalnya kembali. Karena biaya pendidikan kedokteran mahal, benaknya dipenuhi cara mencari uang, bahkan bisa jadi dengan cara tidak peduli, seperti memaksa pasien untuk melakukan operasi caesar meskipun bisa melahirkan normal, hanya karena operasi caesar menghasilkan uang lebih banyak. Ini adalah realitas yang sering terjadi.

Apabila pondasi agama tidak ada, yang ada di benak seseorang hanya mencari uang, tanpa peduli apakah tindakannya menyusahkan orang lain atau tidak.

Namun, jika seorang dokter memiliki pondasi agama yang kuat, yang ada dalam dirinya adalah keinginan untuk jujur. Ia akan jujur dalam menyampaikan fakta kepada pasiennya, misalnya dengan mengatakan, “InsyaAllah ini bisa melahirkan normal.” Jika memang tidak bisa, disampaikan bahwa kondisinya berbahaya dan memang betul-betul tidak bisa melahirkan normal, bukan karena keinginan mendapatkan bayaran lebih.

Selain jujur, niatnya adalah membantu orang. Apabila pasien yang datang membawa uang seadanya, seperti dalam kantong kresek, maka tidak etis jika dikenakan tarif yang sama dengan pasien yang datang membawa kartu gesek. Hal ini berlaku pada semua profesi, baik polisi, tentara, maupun pejabat.

Oleh karena itu, langkah pertama adalah memprioritaskan pendidikan fardhu ‘ain.

2. Kenali dan Kembangkan Bakat Anak

Mengenali anak tidak hanya sebatas mengetahui nama dan tanggal lahirnya. Potensi bakat anak belum tentu diketahui orang tua, sebab belum tentu anak memiliki kecenderungan atau hobi yang sama dengan orang tuanya.

Tidak mesti jika ayah seorang tentara, anak juga ingin menjadi tentara. Ada sebagian anak yang justru tidak ingin menjadi tentara karena melihat ibunya sering ditinggal oleh ayahnya yang bertugas di berbagai daerah. Tidak mesti pula jika orang tua adalah dokter, anak tertarik menjadi dokter. Minat satu anak dengan anak yang lain pasti berbeda. Meskipun memiliki empat anak dari ayah dan ibu yang sama, bakat yang dimiliki setiap anak dapat berbeda-beda.

Oleh karena itu, tugas orang tua adalah menemukan bakat anak. Cara menemukan bakat telah dibahas dalam serial fikih pendidikan anak nomor 188 dengan judul “Menggali Potensi Anak“. Di sana, telah disampaikan langkah-langkah praktis untuk mengetahui potensi anak, termasuk uji coba minat dan bakat. Anak perlu diuji coba untuk melihat minatnya dan bagaimana cara menyelesaikan suatu masalah.

Apabila bakat anak sudah ditemukan, tugas selanjutnya adalah mengembangkan bakat tersebut.

Contohnya, ada anak yang ketika diajak menghadiri pengajian, ia akan menyimak dengan tenang, tidak seperti teman-temannya yang biasanya berlarian. Bahkan, seiring bertambahnya usia, anak tersebut mulai menulis dan antusias menceritakan kembali poin-poin penting pengajian saat ditanya di rumah. Ciri-ciri ini menunjukkan bahwa bakat anak tersebut ada di ilmu agama.

Jika bakat anak terletak pada ilmu agama, orang tua harus mengembangkannya dengan memfasilitasi guru-guru yang berkompeten. Guru yang berkompeten dapat ditemukan di sekolah-sekolah Islam, misalnya dengan memasukkan anak ke pondok pesantren.

Sayangnya, ada sebagian orang tua yang melarang anaknya mondok dengan alasan khawatir akan masa depannya yang suram (madesu). Anggapan bahwa memondokkan anak akan membuat masa depan suram adalah pemikiran yang sudah usang dan ketinggalan zaman. Pemikiran seperti ini mungkin wajar terjadi di masa lalu ketika ilmu agama belum tersebar luas, tetapi sangat primitif jika masih dimiliki di zaman sekarang. Kekhawatiran seperti “jika mondok, mau makan apa?” dapat dijawab bahwa orang yang mondok tetap akan makan dan mendapatkan rezeki.

Pemikiran yang mengatakan bahwa jika anak mondok masa depannya suram, berarti masa depan akan cerah jika anak bersekolah di sekolah umum? Padahal ada tamatan sekolah umum, bahkan lulusan sarjana (S1), yang menjadi pengangguran. Kenyataan ini membuktikan bahwa masa depan tidak ditentukan semata-mata oleh jenis sekolah.

Jika anak memiliki keinginan untuk mondok, orang tua harus memfasilitasinya. Saat ini, banyak pondok pesantren yang sudah membekali santrinya tidak hanya dengan ilmu agama, tetapi juga skill, keterampilan, dan ilmu wirausaha.

Contohnya, di pondok pesantren Tunas Ilmu, para santri tidak hanya disuruh duduk belajar, tetapi juga diajak bertani dan mencangkul. Selain itu, mereka dilatih berdagang, diajak mengunjungi satu bisnis ke bisnis lainnya, serta diajari berbagai keterampilan praktis, seperti membuat mi ayam, menyiapkan bibit tanaman, dan memijahkan ikan gurami. Dengan demikian, mereka tidak melulu belajar ilmu agama.

Ketika anak lulus dari pondok, ia memiliki dua sisi kemampuan, yaitu sisi agama dan sisi keterampilan (skill).

Ada pula anak yang potensinya bukan di bidang agama, melainkan senang utak-atik. Misalnya, anak senang membongkar pulpen, dan setelah naik level, ia membongkar mainan atau motor-motoran menggunakan obeng. Setelah itu, ia mungkin mulai membongkar radio dan seterusnya. Hal ini menunjukkan bakat yang bagus untuk menjadi teknisi. Bakat menjadi teknisi adalah halal.

Orang tua harus memfasilitasi anak sesuai bakatnya dan jangan memaksakan anak melakukan sesuatu yang bukan bakatnya, kecuali terkait prioritas pendidikan fardhu ‘ain. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman dalam Al-Qur’an:

… نَحْنُ قَسَمْنَا بَيْنَهُم مَّعِيشَتَهُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا ۚ وَرَفَعْنَا بَعْضَهُمْ فَوْقَ بَعْضٍ دَرَجَاتٍ لِّيَتَّخِذَ بَعْضُهُم بَعْضًا سُخْرِيًّا…

“Kamilah yang menentukan penghidupan mereka di kehidupan dunia. Dan Kami telah meninggikan sebagian mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat memanfaatkan sebagian yang lain.” (QS. Az-Zukhruf[43]: 32)

Ayat ini menunjukkan bahwa Allah ‘Azza wa Jalla yang menentukan jenis penghidupan manusia, seperti pedagang, petani, pejabat, dokter, insinyur, atau arsitek. Allah ‘Azza wa Jalla menjadikan tingkatan dan profesi mereka berbeda agar mereka dapat saling memanfaatkan antara satu dengan yang lainnya.

3. Jangan Memaksa Anak

Langkah yang terakhir adalah jangan memaksakan anak pada bidang yang tidak diminati.

Ada sebagian orang tua yang menjadikan anak sebagai wadah untuk mewujudkan ambisi orang tua. Misalnya, karena orang tua adalah dokter, anak harus menjadi dokter. Atau, karena orang tua adalah anggota dewan, anak harus menjadi anggota dewan. Pemaksaan seperti ini tidak tepat karena belum tentu anak memiliki potensi di bidang tersebut.

Anak terkadang sudah tidak mau, apalagi ditambah dengan tidak mampu. Jika dipaksakan, hasilnya tidak akan baik, seperti buah yang dikarbit, rasanya tidak enak. Hal itu terjadi karena anak tidak memiliki kemampuan di bidang tersebut.

Lantas, bagaimana solusinya? Permudahlah jalan yang ingin anak tempuh selama itu dihalalkan dalam agama. Kaidah ini sesuai dengan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim:

يَسِّرُوا وَلَا تُعَسِّرُوا

“Permudahlah dan jangan mempersulit.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Jika anak lebih suka kepada sebuah bidang, jangan dipaksakan untuk menekuni bidang yang lain, kecuali jika masih dalam proses pencarian bakat.

Dalam proses pencarian, orang tua dapat memberikan kesempatan mencoba berbagai hal. Misalnya, anak diberi tugas menanam, dan jika hasilnya tidak bagus, kemudian diberi tugas beternak. Jika anak memiliki kemampuan merawat ternak dengan baik, dalam istilah Jawa disebut “sinungan”. Anak yang sinungan berarti telaten dalam merawat ayam, misalnya, sehingga ayamnya bertelur, mengerami, dan akhirnya menetas menjadi anak ayam dengan izin Allah ‘Azza wa Jalla.

Namun, ada juga anak yang diberi ayam malah mati. Hal ini menunjukkan bahwa bakatnya bukan di sana, dan harus diberi kesempatan mencoba bidang lain. Proses pencarian ini bukanlah pemaksaan; ini adalah upaya memberikan kesempatan. Tidak mengapa jika mencoba A tidak cocok, lalu pindah ke B, dan seterusnya.

Namun, jika anak sudah menemukan bakatnya, misalnya di bidang arsitek, hal ini harus dikembangkan. Ada sebagian anak yang masyaAllah, tanpa penggaris dapat membuat garis lurus, sementara anak lain menggunakan penggaris pun garisnya bengkok.

Ada anak yang menggambar tanpa menjiplak pun hasilnya sudah bagus, sementara anak lain menjiplak pun hasilnya tidak maksimal. Potensi anak perlu dilihat, jika sudah ditemukan, kembangkanlah.

Yang terpenting, bakat yang dimiliki anak haruslah bakat yang halal. Orang tua tidak boleh membiarkan anak memilih bakat yang haram. Justru, orang tua memiliki kewajiban untuk mengarahkan anak kepada bakat yang dibolehkan dalam syariat.

Download mp3 Kajian

Mari turut membagikan link download kajian “Mendidik Anak Memanfaatkan Waktu Luang” ini ke jejaring sosial Facebook, Twitter atau yang lainnya. Semoga menjadi pembuka pintu kebaikan bagi kita semua. Jazakumullahu Khairan.

Telegram: t.me/rodjaofficial
Facebook: facebook.com/radiorodja
Twitter: twitter.com/radiorodja
Instagram: instagram.com/radiorodja
Website: www.radiorodja.com

Dapatkan informasi dari Rodja TV, melalui :

Facebook: facebook.com/rodjatvofficial
Twitter: twitter.com/rodjatv
Instagram: instagram.com/rodjatv
Website: www.rodja.tv


Artikel asli: https://www.radiorodja.com/55825-mengembangkan-bakat-anak-dengan-bijak/